Judul buku : Melangkah dengan Bismillah
Penulis : Wikan Satriati
Penerbit : KataKita
Edisi : Pertama, Oktober 2006
Tebal buku : 88 hlm.
Wikan Satriati bukanlah pendatang baru dalam khazanah sastra. Bertahun-tahun ia berada di belakang layar, memproses kelahiran banyak buku karya pengarang pelbagai kota di Indonesia yang terbit melalui Indonesia Tera (yang dikelola oleh Dorothea Rosa Herliany). Jejak lain yang diterakan adalah terjemahannya atas novel karya Naguib Mahfouz, Hotel Miramar (2001), kemudian di tahun 2003 Wikan menerjemahkan esai sastra karya Harry Aveling.
Berbeda dengan pengarang lain yang berharap pembacanya kalangan orang dewasa dengan segmentasi yang luas, Wikan justru melahirkan karya pribadi pertamanya berupa cerita untuk anak. Buku dengan 88 halaman, bersampul gambar ceria yang berjudul Melangkah dengan Bismillah itu, menghimpun tujuh cerita untuk anak. Dalam buku ini, Wikan menawarkan aroma sastra sekaligus memberikan warna lain bagi tokoh Kancil, di luar yang selalu kita dengar selama ini.
Mulai dari cerita pertama yang berjudul: Bismillah, Setiap Langkah Kuawali dengan NamaMu ; kita akan menemukan cerita yang tidak dibebani oleh nasihat. Cerita mengalir seperti kericik air sungai, mempertunjukkan riak dan kemilau batu-batu, atau dengan kata lain: ditulis secara lancar dengan bahasa yang indah dan tak sadar tahu-tahu telah sekian halaman berlalu. Lalu apa makna bismillah dalam cerita itu? Adalah sebuah niat untuk melakukan kebaikan, perjuangan, perjalanan, yang bersandar pada kekuatan di luar diri manusia.
Rasa penasaran menuntun kita dari kisah demi kisah, sampai akhirnya selesai sudah satu buku, yang diakhiri dengan Ladang Kata , tanpa merasa digurui. Menurut pendapat saya, ketika bacaan tuntas sementara kita masih ‘lapar' dengan kisah berikutnya, adalah sebuah bacaan yang berhasil. Tapi, mungkin Wikan memang menganut gaya hidup Rasulullah, agar berhenti ‘makan' sebelum ‘kenyang'. Buku Wikan dengan tepat menakar rasa ketagihan itu. Tanpa bermaksud menjadikan buku ini bersifat agamis, melainkan universal.
Menurut pengakuan pengarangnya, ia memilih menulis cerita anak karena sebuah keinginan yang lama terpendam. Sebagian besar kisah dalam buku ini ternyata sudah lama diperam, dan tak kunjung terlahir karena merasa belum ada yang mendukung. Ketika Wikan bekerja sebagai editor pada penerbit KataKita (penerbit ketiga yang menjadi tempatnya belajar mengolah buku), naskah itu dajukan kepada Sitok Srengenge.
Diskusi panjang pun terjadi antara mereka karena ada potensi besar pada keunikan naskah itu, namun perlu cara penyampaian yang tepat. Anak-anak tentu memiliki memori pemahaman yang tidak sekaligus dalam sebuah kalimat bersayap, namun demikian tidak menjadi tabu bagi anak-anak untuk mengenal sastra lebih dini. Menurut Sitok, tidak semua anak-anak terbatas pengetahuannya, sehingga justru akan memandang remeh pada naskah yang hanya berisi nasihat dengan bahasa terlampau sederhana.
Kosakata yang tetap mengambil bahasa asli Arab, terutama dalam judul, memang pernah dipertimbangkan. Sempat dicoba diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia , namun justru kehilangan nilai puitiknya. Wikan menganggap, ungkapan bahasa Islami itu sebenarnya sudah sangat memasyarakat. Oleh karena itu, menurut Sitok sebagai penerbit, buku Wikan ini tak hanya cocok dibaca anak-anak, namun juga oleh orangtuanya sebagai bahan cerita di saat sedang berada di tengah anak-anak.
Cerita paling panjang dalam buku ini adalah kisah Dik Dik Kancil yang Cerdik. Terbagi dalam beberapa subjudul, diceritakan dengan aneka teknik. Yang pertama adalah mendongeng karena melibatkan pembaca sebagai kau ‘sang pendengar'. Kedua, menggunakan unsur repetisi, saat sang Kancil memperdaya kakek Harimau, ayah-ibu Harimau, dan anak Harimau. Ketiga, kecerdikan sang Kancil yang awalnya digunakan untuk kejahatan, telah menginsyafkannya lantaran korbannya justru mengambil hikmah dari peristiwa sebagai pecundang. Pesan moral ini yang jarang kita sadari, mengingat selama ini tokoh Kancil selalu berhasil menipu, mulai dari Ular, Harimau, sampai Buaya, sebagai korban yang turut kita tertawakan. Sementara, selain sebagai penipu, Kancil juga dikenal sebagai pencuri ketimun.
Pada kisah lain, tentang gadis kecil yang selalu merepotkan para pembantunya, kita dibawa jauh ke negeri gurun. Peralihan alam ini tidak menyebabkan kejanggalan, apalagi untuk logika kanak-kanak. Di latar itulah banyak pelajaran diperoleh si gadis kecil, tentang derma, sikap hemat, peduli, dan sebagainya. Kenapa? Karena ia mengunjungi keluarga janda yang sedang memasak batu untuk anak-anaknya yang menangis kelaparan, sementara selama ini gadis kecil itu begitu mudah membuang makanan. Dalam kisah ini, riwayat Umar bin Khatab diangkat tanpa mengatasnamakan agama.
Pada cerita lain:
Pagi itu, Raja Tua merasa seakan jantungnya menyusut sekecil biji sawi, lalu tanggal dan menggelinding jatuh ke kolam es di Kutub Utara saat melihat di bangku penantang hanya ada seorang anak kecil berumur sembilan tahun membawa ketapel kayu kecil… (Bismillah, Kuawali Setiap Langkah dengan NamaMu), adalah contoh rasa takut yang disampaikan melalui metafor.
Namun demikian, bukan berarti buku ini tanpa kelemahan. Ada kaidah yang ‘dilanggar' oleh Wikan, yakni penggunaan kalimat panjang bersayap, yang mungkin sedikit membingungkan daya tangkap anak-anak. Misalnya dalam cerita “Astaghfirullah, Aku Menyesal”, saya kutipkan satu kalimat yang menjadi satu alinea:
Meskipun mereka baik hati dan tidak mengharapkan makhluk lain dilahirkan buruk rupa sementara mereka tidak, tetapi kemungkinan bahwa akan ada sepasang harimau lain yang juga cakap, kuat, tangkas dan pemberani yang akan membagi-bagikan hasil buruan dan akan berparade berkeliling perkampungan seperti mereka, membuat Ayah an Mama Eata merasa gusar.
Nah jika anda ingin tahu bagaimana si Kancil meneteskan air mata bukan karena takut, melainkan oleh penyesalan telah menipu Harimau, bacalah buku ini.
(Kurnia Effendi, cerpenis)
http://perca.blogdrive.com/archive/cm-02_cy-2007_m-02_d-19_y-2007_o-0.html
No comments:
Post a Comment