April 12, 2007

BACALAH DENGAN LIRIH KARENA GUSTI ALLAH MENDENGAR

Omong-omong, pernahkah Anda berumur tiga tahun? Eh, maaf. Bukan ini yang mau saya tanyakan. Yang ingin saya kemukakan: Ingatkah Anda akan kemampuan bicara Anda pada umur tiga tahun? Kalau lupa, sekarang Anda bisa membayangkannya, ‘kan?

Pada umur sekitar itu, Anda mungkin sudah lihai mengatur volume suara Anda. Anda mampu teriak “BUNDAAA” sekencang-kencangnya. Anda pun mampu bisik-bisik dengan begitu pelan, sehingga yang terdengar di telinga: “Huaa hau hi-ii he ii. Hei-ii hoo!” (Ini bahasa UFO dari galaksi mana, ya?)

Kemudian, sang bunda menjawab, “Wah, uangnya belum cukup. Nabung dulu, ya! Ntar kalo dah cukup, dan kamu nggak sakit, kita beli deh.” Begitulah kira-kira jawaban sang bunda yang paham bahwa sebetulnya, bisik-bisik Anda yang “berbahasa UFO” tadi maksudnya, “Bunda, aku pingin es krim. Beliin, dong!”

Kemudian lima kali per hari Anda jalani ritual berbisik-bisik di telinga Bunda sampai Anda berumur 13, 23, atau 33 tahun. Apakah selama itu Anda akan terus “berbahasa UFO” dengan alasan “Bunda yang aku bisiki sudah mengerti”?

Tentu tidak. Anda pasti memilih mengasah daya vokal Anda. Lambat laun, seiring dengan berkembangnya kecerdasan bahasa lisan Anda, mampulah Anda berbisik dengan tidak terlalu lirih. (Sebaliknya, jika Anda terus saja “berbahasa UFO”, maka berlalu dengan sia-sialah peluang perkembangan kecerdasan verbal Anda ini.)

Begitu juga pada diri Abu Bakar. Begini haditsnya:

Pada suatu malam, Rasulullah saw. keluar rumah dan beliau mendapati Abu Bakar bershalat lail dengan suara yang lirih. Ketika ia bertemu Nabi saw., beliau bersabda, “Wahai Abu Bakar! Aku telah lewat di depan rumahmu ketika engkau bershalat lail dengan suara yang lirih.”

Abu Bakar menjawab, “Wahai Rasulullah! Zat yang aku bisiki sudah mendengar.”

Lantas, beliau bersabda: “Wahai Abu Bakar! Keraskan sedikit suaramu!”

Nah! Mengapa beliau bersabda begitu? Ada hikmah apa di balik perintah beliau itu?

Rupanya, perintah beliau tersebut berkenaan dengan efisiensi shalat. Dengan menaikkan volume suara bacaan Al-Qur’annya hingga dapat terdengar oleh orang lain, maka Abu Bakar pun akan memperoleh hasil “sampingan” (misalnya: meningkatnya kecerdasan verbalnya) di samping hasil utama (misalnya: sampainya suara hatinya kepada Tuhan). Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Efisien, ‘kan?

Kemudian, apakah setelah menyetel volume suaranya dalam bershalat, sehingga suaranya menjadi tidak terlalu lirih, Abu Bakar benar-benar memperoleh hasil “sampingan”? Misalnya, apakah kecerdasan verbalnya meningkat? Kita bisa menduganya dari gejala yang mengisyaratkan hal tersebut, yaitu peningkatan kecerdasannya.

Pada mulanya, di masa tahun-tahun pertama lahirnya Islam, Abu Bakar sama sekali belum dikenal sebagai orator ulung. Dakwah bil-hal (dengan perbuatan)-nya ketika itu tampak lebih menonjol daripada dakwah dengan lisannya. Namun akhirnya, pada saat Nabi saw. wafat, tidak ada sahabat yang mengungguli kemampuan retorikanya. Tatkala para sahabat kebingungan lantaran wafatnya Nabi, Abu Bakar menenangkan mereka dengan pidato. Kata-katanya antara lain:

Wahai kaum muslimin! Barangsiapa menyembah Muhammad, [ketahuilah bahwa] beliau telah wafat. Barangsiapa menyembah Allah, [ketahuilah bahwa] Dia Mahahidup dan tidak akan mati.

Nah! Bagaimana mungkin kecerdasan verbal Abu Bakar ini bisa melejit dengan sedemikian hebat kalau bukan dari pengucapan bacaan-bacaan secara vokal di dalam shalatnya sehari-hari?

2 comments:

munirul said...

iya bener tu!!
dengan kita mulai pintar berbicara dgn Tuhan,maka mudahla bagi kita untuk bicara dengan makhluknya...

munirul said...
This comment has been removed by the author.