April 18, 2007

Pesan Mbah Slamet, Penjual Kerupuk Singkong

Tung, tung, tung, tung.. Suara kentongan itu terdengar jelas di depan posko kami. Ah, rupanya Mbah Slamet melintas dengan gerobak berisi kerupuk singkong buatannya. Mbah Slamet, seorang tua renta. Ia terus berjalan sambil membawa kerupuk singkong untuk dijual. Si Mbah pernah bercerita, ia sering berjalan kaki sambil membawa gerobak tersebut dari rumahnya yang berada di Kecamatan Wonodadi, Blitar, menuju Kota Malang, hanya untuk sekedar menjual kerupuk singkong buatannya sendiri.

Aku sempat terperangah, tidak percaya. Tapi, demikian kenyataannya. Mbah Slamet berjalan jauh melewati hutan belantara dan jalan berkelok-kelok yang jaraknya puluhan kilometer, hingga tiba di tempat tumpuan rejekinya, yaitu Stasiun Gadang Malang. “Kalau sampeyan pingin ketemu saya, sampeyan bisa nyari saya di Stasiun Gadang. Tanya saja ke orang-orang yang ada di sana, ‘yang namanya Mbah Slamet yang mana ya?’ pasti banyak orang yang tahu,” ujar Mbah Slamet kepadaku.

Sambil berbincang dan mengorek informasi dari beliau, aku mencoba membeli dua bungkus kerupuk singkong. “Berapa Mbah, harga kerupuk ini?” tanyaku. “Seribu rupiah, Mas, per bungkusnya,” jawab Mbah Slamet. “Saya beli tiga bungkus, Mbah,” aku pun mengeluarkan uang Rp 3.000 untuk membayar kerupuk yang kubeli. Di sampingku, ada seorang ibu yang memborong sepuluh bungkus kerupuk singkong buatan Mbah Slamet. Setelah Mbah Slamet berlalu, aku pun terlibat perbincangan santai dengan ibu tadi. Membahas kerupuk singkong dan pemiliknya.

“Saya kasihan Mas, melihat Mbah Slamet. Umurnya sudah tua, tapi tetap saja berjualan. Saya sering membeli kerupuk singkong Mbah Slamet, karena nggak tega melihat beliau. Tapi, saya akui Mas, kerupuk singkong buatan Mbah Slamet rasanya memang enak dan gurih. Jadi, saya sering menunggu beliau lewat untuk membeli kerupuk singkong,” tutur si ibu, lalu ia melangkah, pulang.

Cerita Mbah Slamet ini benar-benar unik dan luar biasa. Sosoknya memang sudah termakan usia, tapi tidak berarti melemah dan berhenti menjalani aktivitas hidup di dunia. Kemiskinan bukan berarti melemahkan hati dan pikiran. Kemiskinan bukan berarti menggelapkan mata dan hanya bisa berpangku tangan. Justru, karena kemiskinanlah, Mbah Slamet menjadi orang yang kuat. Karena kemiskinanlah, Mbah Slamet bangkit dari ketidakberdayaannya.

Beliau mengerahkan sisa tenaga di usianya yang terlampau senja untuk menyampaikan pesan kepada semua orang. “Inilah aku. Aku bukan orang yang lemah. Aku bukan orang yang bermartabat rendah. Walau usiaku sudah tua dan ajal mendekat, tidak berarti aku harus berdiam diri di rumah, berpasrah sambil menanti malaikat maut menjemput. Aku ingin di usiaku yang tua ini, masih tersisa tenaga yang bisa memberi banyak manfaat untuk keluarga dan orang-orang disekitarku.” Barangkali, itulah pesan yang disampaikan oleh Mbah Slamet kepada kita, meski tidak tersampaikan secara lisan

Perjalanan beliau melakoni hidup pada usia senja yang berteman setia dengan kemiskinan dapat kita artikan sebagai pesan yang langsung menyentuh dan menusuk relung hati kita. Bahasa tubuh beliau saat menarik gerobak kerupuknya, getar bibir beliau ketika berbicara, bola mata beliau yang memutih saat menatap, kesederhanaan dan kesahajaan beliau akan menjadi bagian dari sejarah kemiskinan, dan selamanya menjadi kenangan yang paling berharga bagi kita yang tulus dan ikhlas bersahabat dengan orang miskin. (Haris Yuniarsyah, Faskel Srengat, Blitar, KMW XVI Jawa Timur; nina)

http://www.p2kp.org/wartadetil.asp?mid=1103&catid=3&

No comments: